JENIS-JENIS KECERDASAN: KECERDASAN EMOSIONAL
Secara populer orang yang inteligen sering disebut sebagai orang yang cerdas, dan dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Dan kecerdasan inilah yang dianggap menjanjikan keberhasilan. Namun dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai bahwa seorang yang cerdas tidak selalu berhasil. Seorang yang sangat cepat memecahkan soal matematika atau memiliki banyak pengetahuan namun dalam hidupnya tidak berhasil atau biasa-biasa saja. Hal ini pada tahun 1970 -1980an menggugah beberapa ahli (Gardner, Salovey, Mayer, Baron dalam Goleman, 1996) melakukan berbagai penelitian untuk menilai apa yang berada dibelakang kegagalan ini. Berdasarkan berbagai penelitian tadi Goleman (1996) mengajukan sebuah konsep yang segera menjadi sangat populer, yaitu konsep kecerdasan emosi (emotional intelligence).
Dalam teorinya, Goleman (1996) menyimpulkan bahwa kecerdasan atau inteligensi sebagai sebuah konsep yang terlalu sempit untuk menjelaskan keberhasilan atau sukses. Sukses membbutuhkan lebih daripada sekedar cerdas atau inteligen karena mengabaikan elemen perilaku dan karakter yang sangat penting. Goleman mengajukan konsep kecerdasan emosi sebagai faktor yang lebih menentukan keberhasilan ketimbang kecerdasan atau inteligensi. Kecerdasan emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang bersifat kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah.
Premis Goleman mengenai kecerdasan emosional adalah: untuk berhasil, diperlukan kesadaran, pengendalian, dan penanganan yang efektif terhadap emosi, baik emosinya sendiri maupun emosi dari orang lain yang dihadapinya. Goleman (1996) menemukan lima domain dari kecerdasan emosi: yaitu memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain.
Mengenali perasaannya sendiri apa adanya atau kesadaran diri adalah unsur penting dalam kecerdasan emosional. Bila individu tidak mampu mengenali perasaannya, maka hidupnya akan dikendalikan oleh perasaannya, sedangkan individu yang memahami perasaannya akan mampu mengarahkan hidupnya. Banyak orang yang tidak memahami emosinya sendiri, karena keliru belajar pada masa kecil. Orang tua bermaksud mengajarkan anak untuk meongontrol emosinya (terutama mengontrol kemarahan), namun keliru menyampaikan bahwa: “Anak yang baik tidak boleh marah.” Akibatnya individu terbiasa menahan atau menekan kemarahannya bahkan menyangkal perasaan marah. Bila ini ter terjadi terus menerus, sampai dewasa individu bisa kesulitan mengenali perasaannya. Akibatnya banyak orang yang tidak sadar bahwa dia marah, atau terlambat menyadari perasaan marahnya sampai kemarahannya sudah memuncak dan sulit dikendalikan. Padahal marah itu alami dan yang perlu dilakukan adalah mengendalikan kemarahan dan menyalurkan kemarahan dengan cara yang lebih
dapat diterima. Terapi relaksasi dalam bidang psikologi antara lain membantu individu menyadari saat dirinya mulai merasa tegang dan tidak nyaman sedini mungkin.
Mengendalikan emosi serta mengarahkan penyaluran emosi agar sesuai dan dapat diterima oleh lingkungannya merupakan kemampuan yang dibangun berdasarkan kesadaran diri. Apabila individu cepat menangkap perasaan marahnya, lebih mudah baginya untuk untuk mengen¬dalikan kemarahanya tersebut ketimbang bila ia sudah terlanjur sangat amat marah. Kemampuan mengendalikan emosi akan sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari otak reptil dan memberi kesempatan bagi neo cortex untuk memegang kendali. Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam mengendalikan emosinya, namun ada cara yang umum dianggap dapat membantu. Menarik napas panjang dan minum air putih dianggap dapat membantu penyediaan oksigen ke otak yang dapat meredakan hati. Beberapa cara yang sering digunakan oleh orangtua atau guru dalam membantu anak meredakan kemarahan adalah dengan menyuruhnya membilang angka secara perlahan, atau bahkan menyuruh anak mandi dengan alasan akan membuatnya ‘sejuk’ biasa dilakukan oleh orang tua. Mengekspresikan perasaan
secara pantas merupakan bentuk kecerdasan emosi ke dua. Cara mengekspresikan perasaan bersifat budaya, sangat tergantung pada kebiasaan setempat. Bagaimanakah cara yang dianggap pantas untuk mengekspresikan perasaan marah, sedih, gembira, takut dan malu dalam budaya Anda?
Memotivasi diri sendiri adalah sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk dapat mengarahkan diri menuju sasaran. Seorang yang memiliki kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri akan lebih tahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Individu yang mampu memotivasi dirinya akan setia pada tujuan, kesulitan tidak akan membuatnya berbelok dari tujuan¬nya. Banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa motivasi lebih menentu¬kan prestasi belajar ketimbang kecerdasan, maka bila indi¬vidu mampu memotivasi dirinya sendiri, ia akan terus mendapatkan energi untuk belajar tanpa tergan¬tung pada dorongan dan dukungan dari orang lain. Dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri akan memung¬kinkan individu untuk menjadi pelajar mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya seumur hidup.
Memahami emosi orang lain berkaitan dengan kemampuan empati. Memahami emosi orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan atas orang lain apa adanya, serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memahami orang lain berarti memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, serta diinginkan oleh orang tersebut, dan kemam¬puan ini dapat dilatih. Untuk memastikan pemahaman menganai orang lain ini tidak keliru, diperlukan keterbukaan dan upaya mendapatkan umpan balik dari orang yang bersangkutan. Saat terjadi ‘benturan’ dengan orang lain, usahakan untuk memikirkan apa kiranya yang dipikirkan orang tersebut, apa yang dirasakannya, serta apa yang diinginkannya tanpa menggunakan ‘kaca mata’ kita sendiri. Agar pemahaman kita lebih tepat mengenai emosi orang tersebut, kita perlu mengenalnya lebih dekat.
Untuk dapat menangani hubungan dengan orang lain, ada banyak keterampilan sosial yang perlu dilatih, seperti kemampuan mendengarkan secara efektif dan kemampuan komunikasi yang efektif.
Bila kecerdasan lebih berkaitan dengan faktor kognitif, maka kecerdasan emosional lebih berkaitan dengan faktor afektif. Sebagaimana diketahui faktor afektif seringkali mempengaruhi faktor kognitif sehingga kecerdasan emosional merupakan faktor motivasional yang akan mendorong atau menghambat penggunaan seluruh kapasitas kecerdasan, atau menyebabkan individu enggan atau tak mampu menggunakan kecerdasannya secara optimal. Namun Zohar (2000) mengajukan pendapat bahwa baik IQ maupun EQ secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, tidak mampu untuk menjelaskan seluruh kompleksitas kecerdasan manusia. Menurut Zohar (2000) dengan kedua kecerdasannya (IQ dan EQ), manusia mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk mengha¬dapi¬nya, namun dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan spiritual, untuk membuat manusia mampu melakukan transendensi.
Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.
Like Facebook Page dan Follow Twitter-nya ya.
0 komentar:
Posting Komentar