MUSEUM BANK INDONESIA (BI) DAN UANG

A. SEJARAH MUSEUM


Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merupakan lembaga yang sangat vital dalam kehidupan perekonomian nasional karena kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh BI akan memiliki dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat. BI, yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1953, telah lebih dari setengah abad melayani kepentingan bangsa. Namun, masih banyak masyarakat yang tidak mengenal BI, apalagi memahami kebijakan-kebijakan yang pernah diambilnya, sehingga seringkali terjadi salah persepsi masyarakat terhadap BI. Masyarakat sering memberikan penilaian negatif terhadap BI karena tidak cukup tersedianya data atau informasi yang lengkap dan akurat yang dapat diakses dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat.

Usia setengah abad lebih ini akan semakin panjang lagi apabila diperhitungkan juga peran dari pendahulunya, yaitu De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada tahun 1828 atau 177 tahun yang lalu. Sementara itu, gedung BI Kota yang dulu dibangun dan digunakan oleh DJB, kemudian dilanjutkan pemakaiannya oleh BI dan saat ini praktis kosong tidak digunakan lagi, merupakan gedung yang mempunyai nilai sejarah tinggi yang terancam kerusakan apabila tidak dimanfaatkan dan dilestarikan. Pemerintah telah menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Di samping itu, BI juga memiliki benda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang perlu dirawat dan diolah untuk dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi masyarakat.
Dilandasi oleh keinginan untuk dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai peran BI dalam perjalanan sejarah bangsa, termasuk memberikan pemahaman tentang latar belakang serta dampak dari kebijakan-kebijakan BI yang diambil dari waktu ke waktu secara objektif, Dewan Gubernur BI telah memutuskan untuk membangun Museum Bank Indonesia dengan memanfaatkan gedung BI Kota yang perlu dilestarikan. Pelestarian gedung BI Kota tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang telah mencanangkan daerah Kota sebagai daerah pengembangan kota lama Jakarta. Bahkan, BI diharapkan menjadi pelopor dari pemugaran/revitalisasi gedung-gedung bersejarah di daerah Kota.
Hal inilah yang antara lain menjadi pertimbangan munculnya gagasan akan pentingnya keberadaan Museum Bank Indonesia, yang diharapkan menjadi suatu lembaga tempat mengumpulkan, menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan aneka benda yang berkaitan dengan perjalanan panjang BI. Saat ini memang telah ada beberapa museum yang keberadaannya mempunyai kaitan dengan sejarah BI, namun museum-museum tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Selain itu, gagasan untuk mewujudkan Museum Bank Indonesia juga diilhami oleh adanya beberapa museum bank sentral di negara lain, sebagai sebuah lembaga yang menyertai keberadaan bank sentral itu sendiri.



B. PERKEMBANGAN UANG DAN FUNGSINYA


Dalam peradaban modern, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat tidak ada yang tidak terkait atau tidak ada yang tidak membutuhkan uang. Begitu pentingnya peran uang dalam kehidupan masyarakat, sehingga hampir tidak ada aktivitas kehidupan anggotanya yang bebas berurusan dengan uang. Meskipun pada awalnya uang hanya berperan sebagai alat bantu untuk memudahkan umat manusia melakukan tukar menukar barang maupun jasa, tetapi sejalan dengan perkembangan peradaban, uang telah mengambil peran yang amat penting dalam kehidupan, sehingga dapat dinyatakan secara umum, bahwa dalam peradaban modern, orang tidak lagi dapat hidup tanpa uang. Pernyataan itu benar belaka, oleh karena dalam peradaban modern, apa saja dapat diperoleh dengan uang, sebab uang diterima sebagai alat pembayaran untuk beragam barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia. Penerimaan uang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan barang dan jasa serta pembayaran lain oleh masyarakat secara umum, menjadikan uang amat penting bagi kehidupan dan orang memburunya sebagai sarana untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan hidup.

Dalam konteks kehidupan perekonomian secara umum, seringkali uang dianalogkan dengan darah dalam tubuh yang menopang kehidupan. Kenyataannya, kehidupan ekonomi masyarakat tidak akan hidup tanpa peran uang di dalamnya. Kuat dan lesunya kehidupan ekonomi suatu masyarakat, sebagian besar amat ditentukan oleh lancar tidaknya aliran uang dalam perekonomian. Seperti halnya darah dalam tubuh, bila volumenya berlebihan akan mengakibatkan sakit, demikian pula sebaliknya, bila volumenya kurang, juga akan mengakibatkan tubuh lesu dan tidak sehat. Uangpun demikian, bila jumlahnya melebihi kebutuhan dalam perekonomian, maka akan mengakibatkan kehidupan ekonomi tidak normal, dan sebaliknya bila kurang akan mengakibatkan kelesuan bagi perekonomian. Untuk mengaturnya diperlukan pemahaman yang baik atas faktor-faktor yang mempengaruhi peredaran atau aliran uang. Demikianlah uang dapat menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menggiatkan kehidupan perekonomian, akan tetapi uang juga dapat menjadi penyebab lesu bahkan runtuhnya kegiatan perekonomian. Terkait dengan itu diperlukan pemahaman yang baik tentang segala sesuatu berkenaan dengan uang, agar kita dapat memfungsikannya dengan baik bagi peningkatan kehidupan ekonomi.

a. Pengertian Uang


Orang awam seringkali memaknai uang dalam pengertian yang bermacam-macam. Kata uang seringkali disinonimkan dengan kekayaan. Bila ada orang menyatakan, “Badrun kaya” diartikan dia memiliki banyak uang. Dalam hal ini, bisa jadi Badrun memang memiliki banyak uang, tetapi yang dimilikinya bukan sekedar uang, mungkin dia juga memiliki saham, obligasi, mobil, rumah mewah dan barang-barang lain yang bukan sekedar uang. Secara umum orang awam mengidentikkan uang dengan kekayaan, oleh karena uang begitu fleksibel untuk dapat diubah menjadi barang dan jasa yang menopang tingkat kekayaan seseorang. Demikian pula orang awam seringkali menyamakan kata uang dengan pendapatan. Bila ada ungkapan, “Susie berhasil memperoleh pekerjaan yang baik dan menerima banyak uang setiap bulannya.” Uang dalam ungkapan tersebut, sebenarnya lebih tepat dinyatakan sebagai pendapatan, yaitu suatu aliran penerimaan yang diperoleh seseorang per unit waktu tertentu, dalam bentuk upah atau gaji karena kerja yang telah dijalaninya. Oleh karena aliran penerimaan tersebut biasanya dalam bentuk uang, maka orang awam menyamakan pengertian uang dengan pendapatan.

Kalangan ekonom mengartikan uang dengan cara yang lebih spesifik, yaitu segala sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaran untuk memperoleh barang dan jasa atau dalam pembayaran kembali hutang (Mishkin, 2004). Sebagai alat pembayaran, dengan pengertian tersebut, uang dapat dipahami sebagai mata uang biasa (currency) yang umum dipakai masyarakat dalam berbagai transaksi berupa lembaran kertas atau koin dari logam. Terkait dengan itu Kasmir (2003) memaknai uang sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu. Pada kenyataannya, masing-masing negara memang memiliki mata uangnya sendiri-sendiri dan umumnya mata uang tersebut hanya laku di negara yang bersangkutan. Meskipun demikian ada mata uang yang banyak diterima di berbagai negara, seperti US dollar dan Euro (dan dalam perkembangannya nanti, diperkirakan beberapa kawasan regional, seperti kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Amerika Selatan akan mengikuti jejak negara-negara Eropa untuk menggunakan satu jenis mata uang tertentu sebagai alat transaksi). Dalam perkembangan perekonomian, uang sebagai alat pembayaran tidak terbatas hanya berupa mata uang biasa yang umum dipakai dalam masyarakat, akan tetapi bisa pula berupa cek, atau kartu kredit, dan oleh karena dapat diterima sebagai alat pembayaran, maka keduanya dapat pula disebut sebagai uang. Pada golongan masyarakat yang telah maju, justru cek atau kartu kredit yang banyak dipergunakan sebagai alat pembayaran, meskipun untuk pembayaran akhirnya, tetap menggunakan mata uang biasa.

Sejak pertama peradaban manusia mengenal uang sebagai alat bantu pembayaran, hingga saat ini telah terjadi evolusi dalam sistem pembayaran. Perkembangan cara masyarakat untuk melakukan pembayaran dalam transaksi ekonomi akan mempengaruhi makna uang di masa-masa yang akan datang.

1) Uang Komoditas (Comodity Money)


Pada perkembangan awal, mata uang sebagai alat pembayaran berupa barang atau komoditas yang diterima secara umum oleh masyarakat. Agar barang tersebut dapat diterima secara umum, maka harus berupa barang yang berharga. Sejarah mencatat ada beragam barang yang pernah dipakai masyarakat sebagai mata uang, akan tetapi yang banyak dipakai adalah logam mulia berupa emas atau perak. Sebagai alat transaksi, legalitas kedua logam tersebut sebagai alat pembayaran ditentukan dengan membentuknya menjadi keping uang logam. Hampir di setiap peradaban masyarakat kemudian mengenal mata uang yang terbuat dari emas atau perak. Penggunaan komoditas sebagai mata uang dirasakan tidak efisien, terutama untuk transaksi yang memerlukan mata uang dalam jumlah yang amat besar. Selain itu dilihat dari sisi keamanan juga tidak menguntungkan. Dapat digambarkan bila seseorang pada waktu itu melakukan transaksi yang memerlukan pembayaran dalam jumlah yang besar, maka untuk membawa uang logam yang amat banyak tentunya memerlukan biaya pengangkutan dan juga memerlukan pengamanan yang intensif, oleh karena jumlah uang yang demikian besar akan menarik penjahat untuk beraksi. Ketidakpraktisan penggunaan mata uang yang terbuat dari logam, menyebabkan manusia mencari alat pembayaran lain yang lebih praktis.

2) Uang Kepercayaan (Fiat Money)


Kesulitan teknis dalam penggunaan uang komoditas, memunculkan kertas sebagai penggantinya, dan kemudian masyarakat mengenal mata uang kertas (paper currency). Pada masa awal pemakaiannya, oleh karena nilai bahan yang berupa kertas pada dasarnya sangatlah kecil bila dibandingkan dengan perannya sebagai alat tukar menukar, maka penerimaan atas uang kertas dalam transaksi, haruslah dijamin oleh logam mulia, artinya pemilik uang kertas sewaktu-waktu dapat menukarkannya dengan logam mulia yang menjadi jaminannya. Kepercayaan masyarakat bahwa uang kertas yang mereka terima benar-benar dijamin oleh logam mulia, merupakan hal paling penting pada proses awal penerimaan kertas sebagai alat pembayaran. Sejarah mencatat, pada mulanya karena kesulitan teknis dengan uang komoditas yang berupa logam mulia, masyarakat mulai menyimpan uang logamnya di bank, dan menerima surat bukti penyimpanan uang. Surat bukti penyimpanan uang logam inilah yang sebenarnya menjadi embrio lahirnya uang kertas, oleh karena surat bukti tersebut lama kelamaan dapat dipergunakan sebagai alat transaksi, dan siapapun pemegangnya dapat menukarkannya dengan uang logam yang tersimpan di bank.

Kepercayaan atas mata uang kertas yang pada awalnya tumbuh dari penerimaan masyarakat karena dijamin oleh uang logam, akhirnya berkembang menjadi kepercayaan yang bertumpu pada legalitas oleh pemerintah, pada saat mata uang kertas dicetak dan diedarkan oleh pemerintah. Pada tahap ini jaminan logam mulia atas uang kertas yang beredar pada prinsipnya menjadi tidak penting lagi, oleh karena mata uang yang dimaksud secara hukum penggunaannya menjadi sah dan diterima oleh masyarakat suatu negara tanpa memperdulikan lagi dapat ditukarkan dengan logam mulia atau tidak. Meskipun demikian dalam hubungannya dengan kepentingan untuk menjaga nilai mata uang suatu negara dibandingkan dengan mata uang negara lain, biasanya negara perlu memiliki cadangan logam mulia (biasanya emas) sebagai jaminan. Pada tahap perkembangan selanjutnya, penerimaan suatu uang kertas tertentu yang didasarkan pada kepercayaan, tidak lagi terbatas pada kawasan satu negara, mata uang dari negara yang kuat perekonomiannya dan produk-produknya banyak beredar di pasaran internasional seperti Amerika Serikat, diterima di berbagai negara dan menjadi standar pembayaran internasional. Selain itu melalui kesepakatan bersama, di suatu kawasan regional tertentu dapat diberlakukan pula suatu mata uang tertentu, seperti mata uang Euro yang berlaku di kawasan Eropa.

3) Cek (Checks)


Sebagai alat pembayaran umum yang diterima oleh masyarakat, uang kertaspun tidak terlepas dari kesulitan teknis seperti halnya uang komoditas terutama terkait dengan masalah keamanan. Untuk mengatasinya, dunia perbankan kemudian mengembangkan cek, yaitu suatu perintah dari seseorang kepada bank untuk mentransfer uang dari rekening orang yang bersangkutan kepada rekening orang lain ketika orang tersebut mendepositokan cek yang dimaksud. Melalui mekanisme pembayaran dengan cek, efisiensi sistem pembayaran dapat ditingkatkan, oleh karena dengan mekanisme yang dimaksud, tidak diperlukan pemindahan mata uang. Untuk transaksi dalam jumlah yang besar, penggunaan cek sangat menguntungkan, apalagi bila pihak-pihak yang melakukan transaksi sama-sama memiliki rekening pada satu bank, proses pembayaran hanya merupakan proses pemindah bukuan saldo yang ada pada rekening pihak-pihak yang bersangkutan. Proses yang agak rumit dialami bila antara pihak yang bertransaksi memiliki rekening pada bank yang berbeda, karena diperlukan proses clearing antar bank.

4) Pembayaran Elektronik (Electronic Payment)


Penggunaan komputer yang meluas dan perkembangan jaringan komunikasi melalui komputer dengan internet, menciptakan sistem pembayaran yang jauh lebih murah, mudah dan efisien dari segi waktu dibandingkan sistem pembayaran dengan menggunakan cek. Tentu saja hal tersebut berlaku bagi golongan masyarakat yang telah mampu memanfaatkan teknologi komputer dalam sistem pembayaran elektronik. Dengan mengakses web site yang disediakan oleh bank, seseorang dapat melakukan pembayaran hanya dengan mengeclick beberapa pilihan di komputernya, sehingga tidak hanya biaya yang dapat dihemat, proses pembayaran hampir dapat dikatakan menjadi menyenangkan (Mishkin, 2004). Pada tahap perkembangan terakhir bahkan pembayaran elektronik dapat dilakukan dengan mudah melalui telepon genggam (handphone).

5) Uang Elektronik (E-Money)


Pembayaran elektronik selain menggantikan pembayaran dengan cek, juga dapat menggantikan pembayaran secara tunai dalam bentuk uang eletronik (e-money), yaitu uang yang keberadaannya hanya dalam bentuk elektronik. Bentuk pertama dari uang elektronik berupa kartu debit (debit card). Dalam keseharian umum dikenal dengan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen dalam pembelian barang dan jasa melalui transfer pembayaran dari rekening bank konsumen yang bersangkutan ke rekening pedagang secara elektronik. Selain lebih aman, penggunaan kartu debit lebih efisien dibandingkan pembayaran secara tunai maupun dengan cek. Selain itu penggunaannya juga makin meluas, makin banyak toko, supermarket maupun pusat-pusat pembelanjaan dan beberapa pelayanan jasa seperti hotel, jasa transportasi, menyediakan layanan pembayaran dengan menggunakan kartu debit. Selain dalam bentuk kartu kredit, beberapa bank menerbitkan ATM yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembayaran secara elektronik seperti kartu debit.
Perkembangan lebih lanjut dari uang elektronik ada dalam bentuk stored-value card. Bentuk paling sederhana dari stored-value card dibeli sebagai pembayaran dimuka, seperti halnya pembelian kartu telpon prabayar. Bentuk stored-value card yang lebih canggih dikenal dengan kartu pintar (smart card). Kartu yang dimaksud berisi chip komputer yang dapat diisi dengan nilai tunai digital dari pemilik rekening bank kapanpun dibutuhkan. Kartu pintar dapat diisi dari mesin ATM, komputer pribadi yang dilengkapi dengan pembaca kartu pintar, atau telepon yang dilengkapi perlengkapan khusus. Setelah berisi nilai tunai digital, kartu pintar dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran seperti halnya kartu debit.
Bentuk ketiga dari uang elektronik disebut sebagai e-cash, yang dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi lewat internet, terutama untuk pembelian barang dan jasa. Seseorang dapat memperoleh e-cash dengan cara membuka rekening dengan suatu bank yang memiliki jaringan internet, dan kemudian bank mentranfer e-cash ke komputer pribadi yang bersangkutan. Dengan e-cash seseorang dapat membeli barang dan jasa yang ditawarkan lewat internet dan secara otomatis e-cash ditransfer dari komputer pribadi ke komputer penjual barang dan jasa. Pedagang dapat mentransfer dana dari rekening bank konsumen sebelum barang dan jasa dikirimkan.

Demikianlah evolusi perkembangan sistem pembayaran. Ke depan dengan makin maraknya pembayaran secara elektronik, dimungkinkan akan terbentuk masyarakat yang bertransaksi tanpa uang tunai (cashless), karena pembayaran cukup dilakukan secara elektronik melalui komputer. Meskipun demikian selama pengadaan komputer dan perlengkapan lainnya masih sulit dijangkau oleh kalayak ramai, ataupun keamanan pembayaran melalui jaringan komputer masih belum terjamin, karena masih banyaknya ditemui kasus para hacker (pembajak data elektronik) yang mampu mengakses database atau rekening bank dan melakukan pencurian dengan memindahkan rekening orang lain ke rekening pribadinya, maka laju percepatan jumlah anggota masyarakat yang memanfaatkan sistem pembayaran elektronik akan terhambat, dan prediksi bahwa nantinya masyarakat tidak lagi memerlukan uang tunai, dianggap sebagai hal yang terlalu berlebihan (Mishkin, 2004).

b. Fungsi Uang


Seperti halnya evolusi yang terjadi pada cara pembayaran, fungsi uang juga mengalami perkembangan sejalan dengan kebutuhan manusia terhadap uang dalam kehidupan perekonomian mereka. Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat untuk memperlancar pertukaran yang semula dilakukan dengan barter (pertukaran in natura). Kesulitan untuk menentukan kesamaan nilai barang yang akan dipertukarkan dengan cara barter, dapat diatasi dengan memanfaatkan uang sebagai media, sehingga selain berfungsi sebagai alat untuk mempermudah pertukaran (means of exchange), uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account). Pada tahap selanjutnya sejalan dengan perkembangan peradaban dan aktivitas ekonomi, fungsi uangpun mengalami perkembangan. Secara terperinci fungsi uang dalam kehidupan manusia dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Uang sebagai alat tukar menukar (means of exchange)


Sebagai alat tukar menukar, uang membawa efisiensi dalam kehidupan ekonomi. Selain mempermudah proses pertukaran atau traksaksi, dengan uang dapat dihemat waktu yang diperlukan oleh manusia untuk mempertukarkan barang dan jasa. Sebagai gambaran, dalam perekonomian barter, pertukaran barang dan jasa dilakukan tanpa uang, bila seorang dokter ingin menukarkan jasa layanan kesehatan yang dimiliki untuk mendapatkan makanan, maka dia harus mencari petani yang menghasilkan beras, untuk menemukan petani yang membutuhkan layanan kesehatan tentu saja tidak mudah, selain itu juga dibutuhkan waktu. Bila dalam rentang waktu tertentu tidak ada petani yang sakit dan membutuhkan jasa dokter, bukan tidak mungkin dokter yang bersangkutan akan mati kelaparan. Kesulitan dan waktu yang diperlukan untuk menukarkan barang dan jasa, disebut dengan biaya transaksi (transaction cost), dan hal itu muncul dalam ekonomi barter, oleh karena setiap kali akan melakukan pertukaran seseorang harus menemukan orang lain yang menginginkan barang atau jasa miliknya, dan sekaligus juga ingin menukarkan barang atau jasa yang dimilikinya. Proses pertukaran memerlukan suatu “kejadian yang secara kebetulan menimbulkan keinginan ganda (double coincidence of wants)”.

Dengan uang, biaya transaksi dapat ditekan, dan keharusan untuk menemukan double coincidence of wants dapat dihilangkan. Dengan adanya uang sebagai alat pertukaran, dokter dalam contoh tadi dapat memberikan layanan kepada siapa saja yang mau membayar jasanya, dan dengan uang yang diperoleh, dia dapat membeli makanan yang dibutuhkan kepada petani manapun yang mau menjual bahan makanan. Dengan demikian selain menekan biaya transaksi, keberadaan uang dalam pertukaran juga mendorong masing-masing orang untuk menekuni pekerjaannya, tanpa harus merisaukan apakah ada orang lain yang menginginkan hasil pekerjaannya untuk dipertukarkan. Uang telah mendorong terjadinya spesialisasi atau pembagian kerja dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Sebagai alat tukar, jenis barang yang dijadikan uang mengalami perubahan dan perkembangan, mulai dari daun-daunan, kerang, kulit, bebatuan, tenunan benang, tembakau, wiski, rokok, hingga ke logam mulia dan kertas. Dalam bentuknya yang sekarang, umum dipakai uang yang terbuat dari logam dan kertas, dan sebagai media pertukaran uang seharusnya memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) diterima dan dikenal secara umum (acceptability and cognizability), (2) mudah dibakukan (easily standardized), sehingga mudah ditetapkan nilainya, (3) dapat dibagi-bagi dalam satuan-satuan hitung yang lebih kecil (divisibility), sehingga memudahkan pertukaran, (4) mudah dibawa dan tidak mudah rusak (portability and durability), (5) memiliki nilai yang stabil (stability of value), (6) jumlahnya mencukupi sesuai dengan kebutuhan perekonomian (elasticity of supply), dan (7) tidak mudah ditiru atau dipalsukan (difficult to counterfeit).

2) Uang sebagai satuan hitung (unit of account)


Sebagai konsekuensi dari fungsi alat pertukaran, uang seharusnya juga berfungsi sebagai satuan hitung. Artinya uang digunakan sebagai penentu nilai atau harga barang dan jasa. Dengan fungsi sebagai satuan hitung, pertukaran barang dan jasa akan mudah dilaksanakan, karena nilai atau harga barang dan jasa yang dipertukarkan menjadi jelas satuan-satuan pengukuran nilainya. Demikian pula dengan berfungsinya uang sebagai satuan hitung, jasa ataupun kerja seseorang dapat dinilai dengan uang, demikian pula kekayaan, hutang, ataupun karya seseorang juga dapat dinilai dengan uang. Menurut Rimsky (2002), esensi dari fungsi uang sebagai satuan hitung adalah untuk menentukan stabilitas dan keseragaman penggunaan uang dalam proses pertukaran di berbagai tempat.

3) Uang sebagai penimbun kekayaan (store of value)


Oleh karena penerimaan uang oleh masyarakat luas, uang dapat pula dimanfaatkan untuk menimbun kekayaan, dengan memiliki uang, berarti memiliki barang dan jasa, oleh karena dengan uang setiap saat dapat diperoleh barang dan jasa sebagai ukuran kekayaan. Seseorang menimbun kekayaan dalam bentuk uang pada umumnya didorong oleh keinginan berjaga-jaga dalam pemenuhan kebutuhannya di masa yang akan datang. Sebagai alat untuk menimbun kekayaan, uang sebenarnya tidak lebih baik dibandingkan dengan barang-barang kekayaan lain seperti tanah, rumah, emas, berlian, bahkan saham atau obligasi. Mengingat barang-barang yang bersangkutan relatif nilainya stabil dan bahkan berpeluang naik nilainya di masa-masa mendatang. Meskipun demikian ada kelebihan uang yang tidak dimiliki oleh barang-barang kekayaan tersebut, yaitu uang merupakan kekayaan yang memiliki likuiditas (liquidity), artinya uang dengan mudah dapat diwujudkan menjadi barang dan jasa apa saja untuk memenuhi kebutuhan.

Seberapa baik uang berfungsi sebagai alat penimbun kekayaan, sangat dipengaruhi oleh stabilitas daya beli uang atau tingkat harga barang dan jasa. Bila tingkat harga barang secara keseluruhan naik dua kali lipat, maka daya beli uang akan turun menjadi tinggal setengahnya. Penurunan daya beli uang dapat diistilahkan dengan inflasi, dan hal ini dapat mengakibatkan jumlah kekayaan yang ditimbun (dalam bentuk uang) mengalami penurunan. Selain itu penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing juga dapat menyebabkan kekayaan yang ditimbun dalam bentuk uang mengalami penurunan. Oleh karena dengan penurunan tersebut, berarti daya beli uang domestik yang ditimbun untuk ditukarkan dengan mata uang asing, atau barang dan jasa dari luar negeri juga akan menurun. Berdasarkan hal tersebut, fungsi uang sebagai penimbun kekayaan, mempersyaratkan adanya stabilitas nilai uang.

4) Uang sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan (standard for deferred payments)


Fungsi uang sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan seringkali disebut pula sebagai standar pencicilan hutang. Artinya uang dapat dipergunakan untuk menentukan nilai hutang-piutang baik yang pembeyaran dilakukan dengan cara tunai maupun angsuran. Berdasarkan nilai uang dapat ditentukan nilai hutang-piutang pada saat pencairannya dan waktu pelunasannya di masa yang akan datang. Sama seperti fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan, untuk memenuhi fungsi ini, stabilitas nilai uang menjadi syarat yang diperlukan, terutama stabilitas nilai yang terkait dengan daya beli uang dan nilai mata uang domestik dibandingkan dengan mata uang asing (inflasi dan deflasi).

5) Uang sebagai komoditas (commodity)


Dalam perkembangannya, uang yang semula hanya berfungsi sebagai alat tukar menukar, berfungsi pula sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Hal ini nyata dalam perdagangan valuta asing. Kondisi ini muncul karena dalam perekonomian, kurs mata uang suatu negara senantiasa fluktuatif terhadap mata uang atau valuta asing. Uang sebagai barang dagangan diperjual belikan, dengan harapan dapat meraih keuntungan dari naik turunnya kurs yang terjadi setiap waktu.

Demikianlah fungsi-fungsi uang yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan perekonomian. Dengan fungsinya tersebut, uang telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat.


C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEREDARAN UANG


Uang yang dimaknai sebagai segala sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaran untuk mendapatkan barang dan jasa, pada prinsipnya dilandasi oleh perilaku manusia yang mempercayai bahwa kekayaan dalam bentuk uang (aset uang) akan diterima oleh orang lain sebagai pembayaran. Sejalan dengan perkembangan sistem pembayaran, aset uang tersebut cakupannya menjadi sangat luas dari sekedar mata uang kertas atau logam dan cek yang dipergunakan secara luas dalam kegiatan ekonomi sehari-hari, yang biasanya disebut dengan uang kartal dan uang giral. Hal ini membawa konsekuensi bagi pengukuran kuantitas uang yang beredar dalam masyarakat, diperlukan ketepatan definisi tentang alat pembayaran apa saja yang dapat dimaknai sebagai aset uang dan perlu dihitung sebagai bagian dari kuantitas uang yang beredar.

Perkembangan dunia perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang banyak menawarkan inovasi produk-produk jasa layanan pembayaran, menjadikan pengukuran kuantitas uang yang beredar makin kompleks.


D. KONDISI KEUANGAN INDONESIA


Kalau membicarakan Keuangan Negara, pastilah tak lepas dari menyoroti APBN. Sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi, APBN sering dipandang sebagai indikator sekaligus solusi. Walaupun besarnya bahkan tidak mencapai separuh dari jumlah konsumsi sektor privat, APBN dianggap memiliki multiplier effect karena bermain di area publik yang strategis.

Banyak pengamat yang memperkirakan tahun 2008 ini adalah tahun terburuk dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi 1998. Beberapa peristiwa keuangan dunia tak hanya menyebabkan hantaman krisis di Amerika, namun juga menebar ancaman di seluruh dunia. Tak terkecuali dengan perekonomian Indonesia.

Hal itu dibenarkan dengan adanya instruksi penghematan anggaran oleh Menteri Keuangan. Tidak tanggung-tanggung, surat edaran Menkeu itu dikeluarkan dengan nomor surat satu. Jadi logikanya, perintah pertama Menkeu di tahun 2008 ini adalah penghematan. Jauh-jauh hari Bu Menkeu sebenarnya sudah mewaspadai mengamuknya badai krisi ini sejak tahun lalu. Hanya saja waktu itu Bu Anik (nama kecil Menkeu) masih optimis, “Krisis kali ini berbeda dengan krisis moneter 1998.” Beliau juga berkeyakinan Indonesia tidak akan banyak terpengaruh.



Facebook: Dari Kelas
Twitter: @darikelas

0 komentar:

Posting Komentar