NABI KITA, IDOLA KITA
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Perayaan Maulid berlangsung di beberapa tempat, ada yang berlangsung sangat meriah, namun ada pula yang berlangsung sederhana.
Perayaan Maulid di beberapa daerah sudah menjadi tradisi, bahkan ada yang mengarah ke praktik syirik dengan mengadakan sesajian, berkurban untuk alam, laut misalkan, pemubadziran makanan atau harta, ikhtiar atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktik yang mengancam jiwa dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan dengan syari'at.
Sejarah manusia telah melahirkan banyak tokoh hebat yang telah menjadi titik balik suatu perubahan peradaban dan tatanan masyarakat tertentu hingga kemudian layak menjadi idola bagi masyarakat tersebut. Tokoh yang diidolakan ini merupakan unsur vital dari identitas yang paling sejati dari seseorang. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, pengentalan dari berbagai jalan hidup yang diyakini. Bagaimanapun, sistem keyakinan selalu mengupayakan pengidolaan. Karena tanpa itu, keyakinan akan kehilangan kiblat.
Dalam tradisi Islam, ada budaya Perayaan Maulid Nabi, event yang dimanfaatkan untuk "menghidupkan" idola lewat pembacaan kembali lembaran-lembaran sejarah Nabi Muhammad. Dalam dunia Islam, Nabi Muhammad mestinya adalah super idol bagi setiap generasi Islam sepanjang zaman.Sayangnya, dalam proses gesekan budaya dan rentang waktu yang panjang, keidolaan Nabi terkadang tereduksi menjadi tokoh non empirik.
Sebagai sebuah seremonial, peringatan Maulid Nabi memang baru dilakukan pada pertengahan abad ke-6 Hijriah. Tradisi ini dimulai di Mosul oleh Syaikh Umar bin Muhammad al-Mala, kemudian dikembangkan oleh Muzhaffar al-Din bin Zaynuddin (549-630), penguasa Irbil. Tapi, esensi Maulid sebagai penghadiran tokoh sejarah secara praktis sudah sangat mengakar sejak generasi pertama umat Islam. Para sahabat adalah orang-orang yang paling "gemar" menghadirkan sejarah Rasulullah dalam ruangan kehidupan mereka, mulai dari urusan rumah tangga sampai masalah politik dan militer.
Kehadiran sejarah Rasulullah menjadi inspirasi paling sempurna bagi seorang muslim dalam menjalani apapun dalam realitas hidupnya. Shalah al-Din al-Ayyubi, panglima agung muslimin dan teman seperjuangan, Muzhaffar dalam Perang Salib, menggunakan tradisi pembacaan sejarah Nabi sebagai strategi untuk menggedor motivasi pasukannya. Ada sisi sejarah Nabi yang memberikan gambaran sempurna sebuah jiwa heroik dan ksatria. Maka, al-Ayyubi meletakkan Rasulullah sebagai idola militer tentara melalui tradisi pembacaan sejarahnya.
Sejarah dibaca memang untuk melahirkan tokoh di masa lampau. Ini menjadi salah satu filosofi dari disiplin sejarah itu sendiri. Dalam tradisi Maulid kita, hal itu sangat kental. Bahkan, tidak hanya melahirkan tapi juga menyegarkan kembali bahwa hanya ada satu tokoh kunci dan super idol dalam keyakinan kita, yakni Nabi Muhammad SAW.
Menciptakan idola dari tokoh sejarah adalah hal yang cukup sulit. Tokoh sejarah hanya digambarkan dalam bentuk cerita-cerita, tidak bersentuhan secara empirik dengan realitas yang sedang kita alami. Gambaran dalam sejarah tidak sekongkrit ketika seseorang secara langsung bertemu atau merasakan sendiri bagaimana sepak terjang tokoh itu. Diperlukan penciptaan momen yang tepat agar sejarahnya hadir, menyentuh, dan meninggalkan pengaruh semi-empirik terhadap seseorang.
Disinilah, peringatan sejarah secara serentak seperti Maulid Nabi menemukan urgensitasnya yang paling esensial. Seseorang lebih mudah mencintai ayah, ibu, saudara atau temannya daripada mencintai Rasulullah, karena ada interaksi langsung dengan mereka. Lebih mudah mengidolakan tokoh yang berada di sekeliling kita daripada mengidolakan tokoh sejarah seperti Rasulullah SAW. Kita bisa bersentuhan langsung dengan kiprah dan kepribadian orang-orang yang berada di sekeliling kita. Mereka lebih mudah mengisi ruang pikiran dalam hidup kita daripada tokoh sejarah.
Sulitnya menghadirkan tokoh sejarah di detak dada, diakui oleh Rasulullah sendiri. Beliau memberikan posisi istimewa untuk orang-orang yang mempercayai beliau padahal mereka tidak pernah melihat beliau.
"Mereka saudara-saudaraku.", sabda beliau dalam sebuah hadits. Untuk para sahabat di sekelilingnya, Rasulullah tidak menyebut mereka "saudara", tetapi "teman.
Keyakinan terhadap tokoh sejarah menjadi salah satu bagian paling inti dari agama. Dalam al-Durr al-Mantsur, al-Suyuthi menyebutnya sebagai keimanan terhadap al-ghayb dalam arti tidak hadir dalam realitas hidup. Kepercayaan terhadap al-ghayb ini merupakan point pokok dari religiusitas seseorang.
Makna Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus diperingati setiap tanggal kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial, tapi sebuah momen spiritual untuk mentasbihkan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita.
Dalam Maulid kita tidak sedang membuat sebuah upacara, tetapi perenungan dan pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara kongkrit tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah ini.
Facebook: Dari Kelas
Twitter: @darikelas
0 komentar:
Posting Komentar