SULITNYA MERANCANG MONAS (MONUMEN NASIONAL)


Mungkin tak banyak orang menyadari, bahkan penduduk Jakarta sekalipun, bahwa bentuk Tugu Monumen Nasional (Monas) sesungguhnya mengambil falsafah lingga-yoni. Lingga yang vertikal melambangkan alu atau alat penumbuk padi, sedangkan yoni melambangkan lesung. Di masa lalu, alat itu menjadi perangkat yang dimiliki hampir semua rumah tangga. Lingga-yoni juga merupakan lambang kesuburan dalam budaya masa silam.

Cikal bakal Monas tak lepas dari keberadaan Lapangan Gambir yang dibangun tahun 1920-an. Tahun 1954 mulai muncul wacana untuk membangun tugu dan terbentuklah Panitia Tugu Nasional. Rancangan tugu sempat disayembarakan dua kali (1965 dan 1960) tapi tidak ada pemenang. Hingga akhirnya panitia yang disebut Tim Yuri sepakat menugasi dua arsitek terkemuka Soedarsono dan Ir. F. Silaban untuk membuat gambar rancangan. Sebagai keputusan akhir, Ir. Soekarno sebagai ketua Tim Yuri memilih gambar rancangan Soedarsono.

Tugu Monas yang mengambil angka-angka 17, 8, dan 45 dalam dimensi arsitekturnya, mulai dibangun Agustus 1959 dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden Ir. Soekarno. Namun Monas baru diresmikan dan dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto. Pembangunan Monas sendiri memang terbagi menjadi tiga tahap. Pertama (1961-1965) yang dananya berasal dari sumbangan masyarakta, serta kedua (1966-1968), dan ketiga (1969-1976) yang memakai anggaran Pemerintah Pusat.

Satu hal yang sering menjadi pembicaraan sekilas tentang Monas adalah tentang "lidah api" di puncaknya. Bentuk lidah api tersebut terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton yang dilapisi emas seberat 35 kg. Emas yang terlihat menyala oleh sinar lampu dan sering jadi pembicaraan itu merupakan sumbangan dari berbagai pihak.


Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar