PROSES TERBENTUKNYA PERUNDANG-UNDANGAN


PROSES TERBENTUKNYA PERUNDANG-UNDANGAN

Didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari:
  1. Perencanaan
  2. Persiapan 
  3. Teknik Penyusunan
  4. Perumusan dan Pembahasan
  5. Pengesahan
  6. Pengundangan
  7. Penyebarluasan


DIBALIK PROSES TERBENTUKNYA UU NO. 12 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

Pendidikan merupakan hak setiap orang dan negara wajib untuk membiayainya. Hal ini merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UUD 1945 sebagai payung hukum tertinggi Indonesia. Ketentuan tentang tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan ini merupakan sebuah ketentuan yang ‘tidak ada keraguan padanya’ (la rai bah fih).

Sayangnya, pemerintah tidak patuh dengan ketentuan UUD 1945. Terbukti saat ini masyarakat terutama masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah sangat sulit untuk menikmati pendidikan tinggi. Saat ini kekuasaan uang telah merasuki tubuh pendidikan tinggi. Seorang profesor pernah berpendapat bahwa, ”jika ingin mendapatkan barang/jasa dengan kualitas bagus, maka kita harus siapkan uang yang banyak, begitu pula dengan pendidikan, jika ingin mendapatkan pendidikan bermutu, Anda harus siapkan uang lebih”. Tentunya pendapat beliau tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada pendidikan di Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati bangku kuliah dikarenakan biaya pendidikannya yang sangat tinggi.

UUD 1945 secara tegas telah mencantumkan bahwa tanggung jawab Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui pendidikan yang bermutu dan mampu diakses oleh seluruh warga Negara dengan prinsip non diskriminasi. Ironisnya, pandangan ahli tersebut merupakan perwakilan dari pandangan pemerintah. Pemerintah bahkan menegaskan nafsunya terhadap pendidikan di dalam UU Pendidikan Tinggi. Melalui UU ini, pemerintah menjadikan kampus (tempat kuliah) sebagai pasar yang akan menghasilkan uang. Pemerintah seperti menjadikan kampus sebagai perusahaan yang lebih mementingkan pencarian keuntungan (laba). Penawaran permintaan (teori ekonomi) berlaku di kampus, dalam bentuk jual beli jasa pendidikan, dengan prinsip ”ada uang ada kuliah”. Semakin banyak uang semakin berkualitas kampus yang didapatkan. Nafsu pemerintah tidak memihak masyarakat dengan perekonomian rendah dan jelas mengkhianati UUD 1945.

UU Pendidikan Tinggi yang telah disahkan presiden pada 12 Agustus 2012 menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat pendidikan, mahasiswa, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pasalnya, UU No 12 Tentang Pendidikan Tinggi ini merupakan sebuah ‘nafsu’ pemerintah yang tertunda. Sebelum UU No 12 Tentang Pendidikan Tinggi ini terbentuk, pemerintah telah membentuk UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) namun UU tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah seperti tidak pernah kehabisan akal, UU BHP ditolak, lalu munculah UU Pendidikan Tinggi sebagai penggantinya. Inti dari UU Pendidikan Tinggi tidak jauh berbeda dengan UU BHP yaitu pemerintah menjadikan Universitas sebagai ladang uang.  Sehingga pemerintah terus mencari jalan dan menyusun kebijakan yang mengikuti nafsu tersebut. Jadi apapun bentuk UU nya pastilah berusaha mewujudkan nafsu untuk menjadikan pendidikan sebagai pasar, dan melepaskan tanggung jawab negara terhadap pembiayaan pendidikan.

Jika dikaji lebih dalam, UU Pendidikan Tinggi (UU PT) ini memiliki kecacatan baik secara fisolofis, yuridis dan sosiologis mendasar. Secara filosofis, keberadaan UU PT saat ini banyak ditolak oleh perguruan tinggi swasta maupun perguruan tinggi negeri di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU PT belum mampu mengaktualisasi filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Padahal di dalam pancasila terkandung acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang diharapkan. Secara yuridis, substansi UU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam undang-undang. Para penyusun UU PT juga terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan undang-undang, peraturan pemerintah, atau cukup dengan statuta. Seharusnya suatu undang-undang cukup mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional warga negara. Secara sosiologis, UU PT menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu dan belum terakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia.

Di balik UU PT, ternyata tersimpan potensi bahaya terhadap dunia pendidikan. Agenda neoliberalisasi pendidikan begitu tampak dalam UU PT. Dalam UU PT disebutkan, perguruan tinggi dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. Maksudnya ialah, perguruan tinggi asing dapat membuka cabang di Indonesia. Inilah “semangat dagang” dalam UU PT.

UU PT tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi ini memungkinkan PT asing membuka cabang di Indonesia. Dengan adanya klausul ini memungkinkan PT asing dapat menanamkan “investasi sosial”, “investasi bisnis” dan “investasi ideologi” di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Sofyan Efendi, pasal tersebut memiliki sejarah yang panjang, sejak tahun 1994 ketika Indonesia meratifikasi perjanjian-perjanjian perdagangan mutilateral dan menjadi anggota World Trade Organization (WTO – Organisasi Perdagangan Dunia) dan pada tahun 2005 menyetujui General Agreement on Trade in Services (GATS – Perjanjian Umum Perdagangan Jasa), dimana pendidikan merupakan salah satu dari 12 bidang jasa tersebut.

WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut:
  1. Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program;
  2. Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri;
  3. Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, dan
  4. Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal.

Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14 persen, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40 persen. Keterbasasan dana pemerintah, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi.

Kesimpulanya, tak dapat dipungkiri bahwa pasal 90 adalah merupakan rezim liberalisasi pendidikan, namun sampai kapanpun sulit menghilangkan pasal ini selama Indonesia masih tergabung dalam WTO. Indonesia tidak dapat mengucilkan diri dari Internasionalisasi (bukan Globalisasi), hanya, pemerintah harus membuat regulasi yang tepat dan dapat menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Sungguh tragis dunia pendidikan di jaman modern sekarang ini. Dunia pendidikan di Indonesia seakan-akan seperti sebuah bisnis yang sedang dimainkan pemerintah demi mendapatkan keuntungan. Visi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya sekadar wacana belaka ketika rezim neoliberalis memasuki dunia pendidikan dan memperlakukannya seperti barang dagangan.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.

Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar