STRATEGI DAN TUJUAN POLITIK SOEHARTO


Alm. Jenderal Besar TNI purn. H. M. Soeharto yang dikenal dengan sebutan Bapak Pembangunan dan juga mantan Presiden RI yang telah berkuasa selama 32 tahun mempunyai sejarah panjang yang sulit ditafsirkan dan beberapa misteri yang tak terpecahkan. Begawan politik Soeharto memang hebat dalam menaklukan dan membodohi bangsanya sendiri. Pada peristiwa G30S di tahun 1965, beliau mampu menyembunyikan rahasia terkotor dan terbesar bangsa Indonesia melalui manipulasi sejarah 1965. Pada peristiwa Reformasi 1998, kembali beliau dengan indahnya mengecoh bangsanya sendiri melalui manipulasi reformasi.  Di sini terdapat beberapa versi yang mengatakan bahwa SUPERSEMAR merupakan wujud dari ambisi Soeharto yang ingin berkuasa sedang di versi yang lain SUPERSEMAR adalah sah perintah dari Soekarno. Dapat dilihat dari wacana diatas terdapat strategi politik yang digunakan Soeharto untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan tujuan politiknya adalah membentuk opini public terhadap apa yang dilakukan Soeharto. Tujuan politiknya tercapai, Ia memenangkan opini public dan pencitraannya membawanya terpilih sebagai Presiden kedua RI menggantikan Soekarno.Alm. Jenderal Besar TNI Purn. H.M Soeharto lahir di Dusun Kenusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta 27 Januari 2008. Soeharto terlahir dari pasangan Kertosudiro dengan Sukirah. Pernikahan orang tua Soeharto tidak bertahan lama. Tidak lama setelah Soeharto lahir orang tuanya bercerai dan Ibunya menikah lagi dan dikaruniai 7 orang anak. Ketika usia Soeharto 7 tahun, Ia tinggal dengan kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Ketika berumur delapan tahun Soeharto bersekolah di SD, tetapi Soeharto berpindah-pindah terus. Soeharto kecil gemar bertani. Ia juga rajin mengaji, dan giat dalam segala hal. Soeharto kecil anak yang aktif. Soeharto melanjutkan pendidikannya pada jenjang SMP dan setelah tamat Ia ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi namun tak terlaksana karena orang tuanya tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai. Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi koman dan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentaraPETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel. Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL. Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepadaPanglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada. Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun. Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.

Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G 30 S/PKI. Kejadian inilah yang merupakan awal dari peristiwa SUPERSEMAR yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Menurut sejarahwan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang diperkirakan dikeluarkan oleh Soekarno adalah merupakan kamuflase belaka. Soekarno dipaksa untuk menandatangani SUPERSEMAR yang merupakan kehancuran bagi dirinya. Inti SUPERSEMAR adalah memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan guna memulihkan keamanan Negara. Adanya SUPERSEMAR membuktikan bahwa strategi politik yang dipilih Soeharto adalah ketokohan dan kelembagaan, di sini Ia merawat ketokohannya sebagai figure yang menjadi komunikasi politik dalam peristiwa G 30 S/PKI, bagaimana tiba-tiba muncul pahlawan di tengah-tengah banyaknya peristiwa. Ia juga memantapkan kelembagaan dengan mengkomandokan anak buahnya untuk menumpas anggota G 30 S/PKI itu sehingga dengan mudah Ia mendapat kepercayaan public setelah berhasil menyelesaikan tugasnya. Dari peristiwa ini Soeharto juga menentukan tujuan politiknya yaitu membentuk opini public kemudian membentuk pencintraan karena itulah Ia terpilih menjadi Presiden kedua RI. Opini public dibentuknya melalui pelaksanaan SUPERSEMAR. Ketika itu rakyat Indonesia beranggapan bahwa Soeharto adalah sosok seorang yang dapat dipercaya oleh karena itu ketika Ia menjabat sebagai presiden tidak ada satupun yang menolak kemudian untuk membentuk pencintraan Soeharto memimpin RI dengan karena Ia pernah menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Salah satu program beliau adalah bimas yaitu program yang mengusahakan swasembada pangan, program ini dicapai melalui penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, serta penggunaan pupuk dan pestisida. Kendati ada perbaikan yang luar biasa, namun program ini menghadapi berbagai masalah, mulai dari paksaan terhadap para petani untuk ikut program tersebut, tidak mampunya petani membayar kembali kredit-kredit yang dipinjamkan kepada mereka dan persoalan lainnya yang membuat petani sendiri kecewa.

Soeharto juga menciptakan yayasan-yayasan dan badan-badan serta instansi-instansi yang mengelola tugas-tugas khusus Pemerintah. Tidak ketinggalan Ibu Tien yang mendirikan yayasan sosial ”Harapan Kita” dengan tidak malu-malu meminta ”sumbangan” pada perusahaan-perusahaan yang takut tidak dapat menyenangkan pemerintah.

Soeharto juga mendapat gelar sebagai Bapak Pembangunan. Di sini tahapan tujuan yang dilakukan Soeharto ketika Ia ingin berkuasa adalah membentuk opini public dengan menumpas peristiwa G 30 S/PKI, membentuk citra dengan Ia terpilih menjadi Mayjen maka rakyat RI akan bersimpati padanya, lalu meningkatkan partisipasi politik dengan ikut ambil alih tugas mengamankan RI terakhir untuk kepentingan pemilu yang berhasil dimenangkannya. 32 tahun memimpin akhirnya semua kejahatannya terbongkar dari peristiwa 1965, hilangnya Supersemar, Serangan umum 1 Maret di Yogya, Tragedi Mei 1998, manipulasi reformasi 1998, dan berbagai kerusuhan yang direkayasa. Strategi utama Soeharto ternyata merebut kekuasaan Soekarno. Sejarawan menduga peristiwa G 30 S/PKI diprakarsai oleh Soeharto tanpa sepengatahuan siapapun. Setelah mendapat tandatangan Soekarno SUPERSEMAR hilang atau sengaja dihilangkan untuk menghilangkan bukti konkrit dari peristiwa G 30 S/PKI. Ditahun 1965, Jendral Soeharto beserta para jendral TNI AD telah memprovokasi/mendalangi massa NU (umat Islam, terutama di Jatim) untuk membantai ratusan ribu massa PKI yang tak berdosa dan tidak tahu menahu tentang politik di desa-desa, hal ini dilakukan untuk menutupi coup detat angkatan darat sekaligus untuk mengkambinghitamkan PKI. Strategi politik yang disebut “nabok nyilih tangan” (menghabisi musuh dengan meminjam tangan manusia lain) sungguh sangat memprihatinkan, disini agama dipakai untuk memprovokasi masa dan membantai bangsanya sendiri. Rasa hormat terhadap agama dan Tuhan boleh dikata tidak ada dalam hati regim Soeharto. Saat ini, baru Gus Dur saja (saat itu sebagai presiden) yang meminta maaf. Pembunuhan yang lebih kejam lagi adalah “pembunuhan kemanusiaan” terhadap anak cucu para anggota PKI yang tidak tahu menahu dan tidak terlibat politik dengan cara merintangi perkembangan kepribadian, emosi dan bisnis mereka (alat2 pembunuh yang diciptakan misalnya: litsus dan S.K bebas G30S). Operator pembunuhan nasional ini adalah pasukan KOPASUS/RPKAD dibawah pimpinan Sarwo Edhi (mertua presiden SBY). Pembunuhan para jendral (Ahmad Yani, Suparman, Tendean, dst) adalah dikarenakan mereka menolak melepas prinsip non blok dan menolak untuk berpihak pada regim Soehato/USA. Selain itu, mereka harus dihabisi Soeharto dkk. agar tidak menjadi pesaing/duri dalam daging. Nasution yang dapat menyelamatkan diri, akhirnya terpaksa bergabung dengan Soeharto; pada akhirnya: Jendral Soeharto menjadi presiden, dan Nasution menjadi ketua MPRS, mulai saat itu Indonesia dibawah regim militer (eksekutip dan legislatip dibawah militer) dan menjadi negara boneka USA. Di era itu, USA telah banyak berhasil membuat negara boneka, terutama di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia. Peristiwa G30S 1965 lebih tepat bila didefinisikan sebagai pengkianatan regim Soeharto terhadap bangsanya sendiri, bukan pengkianatan PKI.

Dengan jurus “maling teriak maling”, Soeharto dkk. mendirikan monumen Lubang Buaya dan menginstruksikan agar seluruh jalan-jalan utama di Indonesia diberi nama para jendral yang tewas tsb,  licik namun indah sekali.

Masa kekusaan Soeharto mulai runtuh ketika rakyat tidak mempercayai kepemimpinannya lagi. 32 tahun menjabat sebagai presiden adalah hal yang bertentangan dengan UUD ditambah dengan terbongkarnya kejahatan-kejahatan masa lalunya di mana Ia telah memanipulasi semua peristiwa yang melibatkan dirinya. Tanggal 21 Mei 1998 terjadi kerusuhan besar-besaran sebagai bentuk protes atas kepemimpinan Soeharto. Pada akhirnya Soeharto mengundurkan diri dan jabatan selanjutnya diberikan oleh B.J Habibie yang kemudian menjabat sebagai Presiden ketiga.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.

Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar