ETIKA DAN MORAL POLITIK DPR (DEWAN PERWAKILAN RAKYAT)


Etika dan moral politik tidak hanya berkaitan dengan perilaku aktor politik dan aktor kebijakan, namun juga membahas kualitas moral para pelaku. Etika politik adalah gabungan dari etika institutional dan etika keutamaan.  Institusi dan keutamaan merupakan  dua dimensi yang saling mendukung. Keutamaan merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam emosi diri perilaku, sedangkan institusi menjamin tindakan dari luar diri perilaku (benhard Sutor, Politische Ethik, 1991, hal 65).

Dalam negara demokratis, pemerintah mempunyai komitmen terhadap penyelenggaraan negara dan bertanggungjawab atas komitmen, yakni untuk mencapai kesejahteraan dan perdaiaman (visi Pancasila UUD'45). Karena itu, dalam menghadapi masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, maka kebijaksanaan umum pemerintah harus terumus dengan jelas dalam hal prioritas, program, metode dan dasar  tindakan filosofisnya dan  secara transparan  harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, dalam menghadapi masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, maka kebijaksanaan umum pemerintah harus terumus dengan jelas dalam hal; prioritas, program, metode dan dasar  tindakan filosofisnya dan  secara transparan  harus dipertanggungjawabkan. Atas dasar kebijakan umum ini, wakil rakyat dan kelompok-kelompok kepentingan melakukan kontrol dan evaluasi kebijakan pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban.

Saat ini Indonesia sedang mengalami keprihatinan mendalam dalam upaya penerapan kebijaksanaan umum (policy) dalam manajemen publik terutama dalam badan legislasi dimana akhir-akhir ini ditemukan proyek jual beli pasal antara elit (aktor DPR) dengan pengusaha (aktor ekonomi) yang berakibat menghancurkan sistem politik negara. Secara ideal proses legislasi menggambarkan aspirasi rakyat dan DPR selaku representasi rakyat harus memahami nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Itu semua dapat digali saat sosialisasi RUU. Namun realitasnya hanya melibatkan kelompok tertentu, paling maksimal kalangan perguruan tinggi, itupun sangat terbatas dengan alasan dana dan waktu yang sempit.

Fakta jual beli pasal di DPR. Pertama adalah kasus mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, dan beberapa pejabat BI yang mengalirkan uang Rp 100 milyar ke DPR terkait dengan revisi UU BI. Fakta berikutnya adalah pengakuan mantan Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawar, yang menyatakan bahwa uang Rp 1,5 milyar yang berasal dari dana abadi umat dibayarkan ke DPR untuk menggolkan UU Wakaf.

Penyebab terjadinya ketidakseimbangan dalam badan DPR dilatarbelakangi oleh perekrutan calon anggota legislatif yang tidak memenuhi kriteria sebenarnya. Selama ini perekrutan DPR hanya mengandalkan uang dan massa padahal untuk menjadi anggota legislatif harus mempunyai setidaknya empat kriteria seperti akademik, sosial, kepribadian dan profesionalisme. Untuk mengatasi itu semua, dibutuhkan penegakan hukum yang secara tegas dan memutus jaringan-jaringan kolusi serta etika dan moral yang kuat. Sungguh memprihatinkan etika dan moral anggota DPR yang terhormat, semestinya menjadi contoh bagi masyarakat dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Begitu banyak perilaku menyimpang dipertontonkan oleh beliau-beliau yang terhormat, diantaranya perkelahian, tidur, bolos, dan debat kusir dalam sidang, bergelimang fasilitas, seperti rumah dan mobil mewah, sampai pada tindak korupsi berjamaah.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.

Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar