KEYAKINAN KEPADA QADA DAN QADAR (TAKDIR)


Keyakinan pada rukun-rukun iman yang telah dikemukakan di atas disebut dasarnya dalam Al-Quran, antara lain dalam bagian surat Al-Baqarah (2) ayat 285 yang terjemahannya (lebih kurang) sebagai berikut, “Semuanya beriman kepada allah, malaikat-malaikat-nya, kitab-kitab-nya dan rasul-rasul-nya...”. Setelah berseru kepada orang-orang beriman agar beriman kepada yang disebut QS. 2:285 di atas, pada kalimat kedua Allah memperingatkan orang-orang kafir, dengan rumusan (lebih kurang), “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-nya, kitab-kitab-nya dan rasul-rasul-nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya,” dalam QS. An-nisa (4):138. Keyakinan pada qada dan qadar (dalam bahasa Indonesia ditulis kada dan kadar) yang menjadi rukun iman keenam ini berasal dari sunnah nabi. Sunnah nabi yang kini dihimpun dalam kitab-kitab hadis, merupakan bagian integral iman atau keyakinan Islam.

Khusus mengenai perkataan qada (kada) dan qadar (kadar) yang disebut dalam Al-Quran antara lain dalam surat Al-Ahzab (33): 36, dan surat Al-Qamar (54): 49, perlu diberikan catatan berikut. Di dalam sejarah Islam, perkataan kada dan kadar yang disebut juga takdir dalam pembicaraan sehari-hari, pernah menimbulkan salah paham terhadap ajaran Islam. Sebabnya, karena perkataan takdir diartikan sebagai sikap yang pasrah kepada nasib tanpa usaha atau ikhtiar. Untuk menghindari kesalahpengertian itu, perlu dipahami benar makna yang dikandung oleh kedua perkataan tersebut. Yang dimaksud dengan kada adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa kada adalah ketentuan atau keteapan, sedang kadar adalah ukuran. Dengan demikian yang dimaksud dengan kada dan kadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan (Allah) menurut ukuran atau norma tertentu.

Dalam meyakini rukun iman yang keenam ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Di antaranya yang terpenting adalah hubungan takdir dengan kehendak bebas atau free will manusia tersebut di atas. Untuk itu perlu dikemukakan pertanyaan berikut: Dalam meyakini takdir ilahi apakah manusia masih mempunyai kehendak bebas dalam mengatur perbuatannya? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai kekuasaan Tuhan yang mutlak dan keadilan tuhan mengenai perbuatan manusia.

Yang menganggap kekuasaan Tuhan itu mutlak berpendapat bahwa Allah dapat berbuat apa saja, baik yang kelihatan adil maupun yang kelihatan tidak adil oleh manusia (teori pertama). Menurut pandangan ini, manusia adalah alat Tuhan yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengatur nasibnya. Teori ini, yang terkenal sebagai Fatalisme (ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib), telah menyebabkan Islam dilecehkan sebagai agama Fatalistis (ajaran yang pemeluknya percaya atau menyerah saja pada nasib). Menurut Mahmud Syaltut (seperti dikutip Kenneth W. Morgan, 1980:178), pendapat ini adalah salah sesalah-salahnya, karena Islam mengakui peranan manusia dalam mengatur perbuatan-perbuatannya.

Pendapat Mahmud Syaltut ini sejalan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya (teori kedua). Dengan akal yang ada padanya, manusia dapat menentukan pilihannya. Dengan kehendak bebas (free will) yang ada padanya,  manusia menjadi pembuat nasibnya sendiri. Ini jelas dalam ayat yang mengatakan bahwa (terjemahannya lebih kurang):  “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah nasib mereka” (QS. Ar-Ra’du (13): 1). Perkataan sesuatu kaum dalam ayat di atas dapat diganti dengan seseorang. Oleh karena itu, apa yang disebut nasib, sesungguhnya, tidaklah lain dari berlakunya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia (seseorang).

Menurut Al-Quran, demikian Mahmud Syaltut, manusia bebas memilih perbuatan yang akan dilakukannya. Ia bebas pula menentukan kepercayaan yang dianutnya dan dia akan memperoleh sesuatu baik hukuman atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Allah hanya menunjukkan jalan yang seyogianya diikuti oleh manusia. Manusia bebas memilih untuk menuruti atau tidak menuruti jalan itu. Allah tidak mengganggu pilihan manusia. Oleh karena itu, manusia harus mengerjakan penyelamatam dirinya dan penyelamatan ini hanya dapat dalam beriman dan beramal shaleh. Beramal shaleh artinya berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Di dalam Al-Quran perkataan iman selalu diikuti dengan perkataan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga yang telah disediakan Allah untuknya.

Untuk memahami takdir, manusia harus hidup dengan ikhtiar, sebab dalam kehidupan sehari-harinya takdir Illahi berkaitan erat dengan usaha manusia.  Usaha manusia haruslah maksimal (sebanyak-banyaknya), dan optimal (sebaik-baiknya) diiringi dengan doa dan tawakal. Tawakal yang dimaksud adalah tawakal dalam makna menyerahkan nasib dan kesudahan usaha kita kepada Allah, sememntara kita terus berikhtiar serta yakin bahwa penentuan akhir segala-galanya berada dalam kekuasaan Allah. Inilah makna takdir yang sebenarnya, yang berlangsung melalui proses usaha (ikhtiar), doa dan tawakal.


Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.

Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar