DEFINISI KATEGORI DALAM LOGIKA MANUSIA


Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.

Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut. Kemudian kategori yang lebih kompleks dikembangkan, seperti makhluk hidup yang bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan sebagainya.

Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir, pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.

Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.

“We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality, relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.” (Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)

“Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity: four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where: in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position: is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961)

Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi (relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau mengenakan (habitus).

Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being). Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal sebagai ‘ada’ (being).

Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.

Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitas-kualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman, manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.

Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas (quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit. Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).

Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’ Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong sebagai manusia.  Contoh lain: ‘Beberapa filsuf adalah rasionalis.’ Pernyataan in adalah pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.

Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu, perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.

Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun, dalam keadaan  bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.

Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulang-alik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar dapat bertahan hidup.’

Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka bagi rasionalitas manusia.

Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan, konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.

Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19 April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.

Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenis-jenis fundamental  tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak terbatas pula jumlahnya.

Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-hati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.
 
Like Facebook Page dan Follow Twitter-nya ya.
Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar