PENGERTIAN FILSAFAT


Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus (484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja “berfilsafat” dalam percakapannya dengan Croesus yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan. Kata “berfilsafat” di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan; philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta.

Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh Cicero (terje¬mah¬an King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda. Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston theorian).

Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).

Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan Socrates:

“…to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their life… Wise, I may not call them; for that is a great name which belongs to God alone,―lovers of wisdom or philosophers is their modest and befitting title.” (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)

Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pencinta kebijaksanaan.

Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman itu berlangsung terus menerus.

Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak, jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Itu bisa  terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses pencarian pengetahuan universal.

Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.

Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal. Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti “lebih kecil” atau “lebih besar” hingga bentuk yang kompleks seperti “hubungan sebab-akibat” dan “dialektika” (perpaduan dua hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).

Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan), tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.

Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan masalah dan “lubang-lubang” pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu, membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendasar.

Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.

Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu. Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, “Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu” (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan itu dapat  dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan kritik secara timbal balik.

Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”, dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan (contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar.

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses, satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi, seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:1—5.)


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.
 
Like Facebook Page dan Follow Twitter-nya ya.
Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar