REALISME ETIS DAN NON-REALISME ETIS


Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal itu bergantung kepada subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46).

1. Realisme Etis
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain, properti etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Hal ini disebut dengan fakta etis tentang fakta sebuah tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan itu harus ada di sana dan bersifat independen.

Apa yang diungkapkan di atas biasanya dikenal juga dengan istilah absolutisme etis. Gagasannya bersandar pada adanya aturan-aturan universal yang tidak berubah dan berlaku setiap bagi semua orang. Absolutisme etis berpendapat bahwa ada beberapa aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut dapat ditemukan serta berlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, tindakan tidak etis atau tindakan yang melanggar aturan-aturan yang ditemukan itu berkualitas salah di dalamnya sendiri, terlepas dari keadaan atau konsekuensi dari tindakan-tindakan itu sendiri. Absolutisme etis mengambil pandangan kemanusiaan universal dan berkeyakinan bahwa ada satu perangkat aturan untuk semua orang, misalnya seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Masalah bagi etika realis adalah manusia mengikuti keyakinan etis yang berbeda-beda. Jika memang ada kebenaran etis yang nyata di luar sana, maka manusia seharusnya bisa menemukannya dan punya keyakinan etis yang sama. Artinya, realisme etis dalam bentuk absolutisme etis tidak sesuai dengan keragaman budaya dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme moral yang tidak memperhitungkan konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk menghasilkan fakta etis. Padahal  konsekuensi dan keadaan etis itu sangat relevan dengan dengan kategori tindakan itu baik atau buruk.

2. Nonrealisme Etis
Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat persoalan etis yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini sangat terkait dengan relativisme etis. Relativisme etis yang mengatakan bahwa jika Anda melihat budaya yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah, Anda akan menemukan bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada kelompok tertentu di mana orang-orang menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik" (Williams, 2006, 157). Dengan kata lain, relativisme menghormati keragaman budaya dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.

Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam relativisme etis. Diantaranya adalah kita merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar kesepekatan umum dari sekelompok orang. Terkadang kita berpikir bahwa kita bisa menjadi "baik tanpa sesuai dengan semua aturan masyarakat. Misalnya, keputusan untuk menjadi seorang vegetarian terkait dengan hak-hak hewan  dinilai "baik", walau masyarakata melihat hal itu bukanlah suatu perkara yang terkait dengan masalah etis, bahkan memakan daging dianjurkan.

Lebih jauh, relativisme memiliki masalah dengan persoalan tirani mayoritas.  Dalam relativisme etis, jika kebanyakan orang dalam suatu masyarakat setuju dengan aturan tertentu, itulah akhir dari masalah etis. Apa yang diabaikan dari relativisme etis adalah banyaknya perbaikjan yang terjadi di dunia dikarenakan orang menentang pandangan etika yang berlaku --relativisme etis punya kecenderungan untuk menganggap orang-orang seperti  itu berperilaku "buruk".  Persoalan yang paling mendasar dari relativisme etis adalah setiap pilihan "etis atau tidak" menjadi sewenang-wenang dikarenakan terkait dengan keelompok sosial atau budaya itu sendiri sebagai landasan etika. Artinya, relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.
 
Like Facebook Page dan Follow Twitter-nya ya.
Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar