JOHN STUART MILL DAN KONSEP ETIKA UTILITARIAN
Teori
moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada
bagian Immanuel Kant, yang kedua adalah kaum konsekuensialis. Apa yang
dimaksud dengan etika konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan
bahwa segala tindakan dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan
hasil akhir dari tindakan tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum
utilitarian sangat bertolak belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru menegaskan bahwa
suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan kebahagiaan bagi
individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang dianggap
menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi dasar dari
suatu perbuatan moral.
Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian
adalah John Stuart Mill. Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti
kegunaan, menganggap bahwa dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis
adalah untuk mencapai kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility,
atau kebahagiaan sebagai fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai
suatu kebenaran sejauh tindakan itu memproduksi serta mempromosikan
kebahagiaan, akan menjadi kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan
itu.”[1]
Cukup jelas dalam pernyataan ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik
adalah keadaan yang menimbulkan kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum
utilitarian disalahartikan menjadi pandangan yang secara general memperbolehkan
apapun untuk mencapai kebahagian, inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.
Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa
seolah-olah pandangan etis kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan
ragawi semata. Mill menyatakan bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana
itu dalam menggunakan kata kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan
seseorang sesungguhnya bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno
yang bernama Epikurus yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk
Mill ada perbedaan mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki
pendahulunya Epikurus, kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas
konsep kebahagiaan secara mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan
dari Epikurus, dengan menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada
yang tinggi dan rendah.
Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum
utilitarian, karena Mill berupaya menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam
kebahagiaan, dimana pengejaran etis berurusan dengan kebahagiaan yang
bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu memiliki nilai moral.
Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki nilai moral atau
yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama atau
tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan
kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain
bertempat di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan
sebagai suatu tujuan etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan
yang kita tuju sebagai tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu
yang menyengsarakan kita? Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?
Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari
argumen etis para utilitarian, tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya
tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau klasifikasi kebahagiaan, tentunya
tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan bahwa tidak semua kebahagiaan itu
memuaskan kita secara sempurna. Mill secara gamblang menyatakan bahwa kita
harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang sempurna itu, meskipun demikian
kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan kebahagiaan. Misalnya dalam satu
contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa sakit mendonorkan darah demi
membantu seorang temannya yang sedang sekarat, tindakan ini pada dasarnya
memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk melihat temannya sembuh,
atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan yang melampaui rasa
sakitnya.
Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan
etis kaum utilitarian yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill
mengkritik bagaimana Kant dengan mudahnya meniadakan peran individu yang
memiliki kesadaran untuk bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia
menekankan bahwa individu tidak boleh memiliki kepentingan disaat ia berbuat
kebaikan, tujuannya adalah kewajiban terhadap kebaikan itu sendiri. Mill
menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak realistis, karena mengabaikan
aspek kepekaan individu untuk berkendak serta menginginkan kebaikan. Menginginkan
kebaikan dalam arti utilitarian adalah keinginan kebaikan tidak saja untuk
individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang yang mungkin mendapatkan
dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill menekankan niat baik serta
pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang-orang.
Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan
bahwa bila prinsip terutama manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan
melakukan sesuatu hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya
karena ia menyadari bahwa kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia
terdorong untuk bersikap etis. Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk
kaum utilitarian? Mill menjelaskan bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan
untuk bertindak etis maka ia dapat mempertanggung jawabkan pilihan yang telah
ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak dengan mengatakan bahwa, ia hanya
menjalankan suatu perintah, atau ia hanya mengikuti hukum tanpa memikirkan
akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua hal yang sangat penting dalam
prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk berbuat baik, maka ia
diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan yang akan ia ambil.
Penjelasan dari John Stuart
Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang suatu tindakan moral. Bila
pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang mengatakan bahwa prinsip moral
itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral. Sebagai
konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita terpaut
dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi
yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan
menghindari kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill,
kebijaksanaan yang utama serta memiliki nilai moral adalah mengejar
kebahagiaan, “Dengan demikian, meningkatkan kebahagiaan, menurut etika
utilitarian, merupakan objek dari kebijaksanaan”
Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.
Like Facebook Page dan Follow Twitter-nya ya.
0 komentar:
Posting Komentar