KEPENTINGAN DIBALIK PRIVATISASI AIR DI KOTA JAKARTA (INDONESIA) DAN KOTA MANILA (FILIPINA)


Sejak diberlakukannya privatisasi air, tarif air di Jakarta merupakan tarif termahal dibandingkan dengan kota-kota besar baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Proses privatisasi air di Jakarta merupakan contoh kombinasi antara kepentingan asing, pemerintahan yang korup dan rezim pinjaman Bank Dunia bersinergi, mendistorsi pasar dan meraup sumber daya dan aset masyarakat. Tujuan awal privatisasi air adalah untuk menyediakan air bersih di Indonesia secara lebih luas. Penduduk Indonesia rawan akan akses air bersih. Banyak penyebab mengapa persediaan air bersih di Indonesia menurun, pertama karena kerusakan sungai, kedua karena pencemaran air tanah, dan ketiga karena pencemaran sungai. Di Jakarta, air bersih menjadi sebuah permasalahan karena banyak air yang telah tercemar polutan atau bakteri tanah. Padahal, air adalah sumber daya alam yang sangat penting nilainya bagi manusia.  Setelah dilakukan privatisasi air, pelayanan air tidak meningkat, hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya. Kenyataannya, tarif air di Jakarta justru mengalami kenaikan. Lebih lanjut, PAM Jaya masih meminta diberikannya subsidi dari pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentunya sangat tidak masuk akal secara teoritis, di mana privatisasi seharusnya dapat menekan harga lebih murah dan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta, namun pada kenyataannya dalam privatisasi air di Jakarta, pemerintah masih melakukan subsidi dan tarif air naik.

Setelah diberlakukannya privatisasi air, PT Palyja dan PT Aetra Air yang saat ini menjadi operator PDAM Jaya, target pertambahan pelanggan tidak mencapai ketentuan kontrak dan lebih rendah ketika air masih dikelola sendiri oleh PAM Jaya. Dalam konteks skala ekonomi, ini merupakan masalah efisiensi biaya, karena struktur biaya yang efisien menuntut tercapainya target pelanggan pada tingkat tertentu. Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun.

Tarif air Jakarta sekarang sekitar Rp 7.000 permeter kubik namun pemerintah merencanakan tarif air terbaru yaitu Rp 10.000 permeter kubik, sedangkan tarif air swasta sekitar Rp 50.000 permeter kubik. Tarif air di Jakarta termasuk yang paling mahal jika dibandingkan dengan kota-kota besar baik dalam negeri maupun luar negeri. Tarif terus mengalami kenaikan karena inflasi, dan kenaikan tarif otomatis terjadi tiap semester. Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, defisit, serta badan regulator. Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui pemerintah, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tarif Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Saat ini Pemerintah DKI justru memiliki hutang sekitar Rp. 900 milliar kepada operator asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001. Jika kerjasama terus dilanjutkan sampai tahun 2022 maka hutang PAM Jaya/Pemprov DKI Jakarta kepada swasta akan menjadi Rp 18,2 triliun.  Hutang ini timbul karena Jakarta menganut sistem yang tidak lazim, yakni operator swasta dibayar dengan imbalan yang nilainya disesuaikan setiap enam bulan sementara pelanggan membayar tarif yang tentunya tidak bisa dinaikkan setiap enam bulan. Karena imbalan tiap enam bulan naik sementara tarif tidak, maka timbul kekurangan bayar kepada swasta yang kemudian diperhitungkan sebagai hutang Pemprov kepada swasta. Sayangnya setelah diberlakukannya privatisasi air, tingkat layanan, kualitas air minum tetap keruh dan berbau tidak sedap. Selain itu juga terdapat masalah distribusi air bersih yang tidak merata antara perumahan yang terletak di pinggir jalan besar dengan perumahan di perkampungan.

Masalah privatisasi air tidak hanya terjadi di Jakarta, namun di Manila yang merupakan ibukota dari negara Filipina juga mengalami masalah yang sama. Di Filipina, privatisasi perusahaan air minum Manila menyebabkan: 1) air lebih mahal, 2) kualitas pelayanan berkurang dan 3) Jumlah masyarakat yang mendapatkan air bersih juga berkurang karena faktor harga yang tinggi.

Di Manila, ada dua perusahaan swasta yang diberikan hak pengelolaan air oleh pihak otonomi setempat, MWSS (Metropolitan Waterworks and sewage System), yaitu Manila Water dan Mynilad Water. Banyak pihak termasuk pemerintah dan juga pihak Bank Dunia berpendapat bahwa privatisasi air akan membawa harapan baru bagi masyarakat Manila yang tentu mendambakan supply air bersih yang baik dan murah. Kontrak tersebut berjangka waktu 25 tahun, dan termasuk salah satu kontrak privatisasi air terbesar di dunia pada saat itu.

Pada tahun 1997, sebelum dilaksanakannya privatisasi air, tarif air di Manila sebesar 8,78 peso permeter kubik atau Rp 2.000 di Indonesia. Setelah privatisasi tarif air turun menjadi 4, 96 peso perkubik atau Rp 1.000 di Indonesia. Privatisasi pada tahun 1997 dianggap berhasil dalam menurunkan tarif air bagi pelanggan. Namun tahun 2001 tarif air meningkat hingga 500% atau sekitar 19, 92 peso (Rp 4.500 di indonesia) per meter kubik.  Dengan biaya operasi yang besar, salah pengelolaan, dan inefisiensi, privatisasi ternyata menimbulkan permasalahan bagi pelanggan, khususnya masyarakat miskin yang makin berat dalam membayar tarif air yang semakin meningkat.

Ketika terjadi krisis finansial di Asia Tenggara yang mempengaruhi nilai tukar Peso, perusahaan meminta mekanisme khusus yang dapat melindungi keuangan mereka. Hal ini dilakukan agar krisis finansial tidak mempengaruhi keuntungan perusahaan. Perusahaan telah beberapa kali melaksanakan praktek lindung yang jelas mempengaruhi performa perusahaan dalam penyediaan air kepada masyarakat. Perusahaan tidak memperbaiki infrastruktur air, yang ada justru terus mengajukan penyesuaian tarif tanpa perbaikan pelayanan. Keinginan untuk menjaga kondisi finansial perusahaan telah menjadi prioritas dibandingkan menjalani tugas utama menyediakan air bersih bagi masyarakat Manila.

Privatisasi disebut-sebut akan mampu mengatasi krisis air di depan mata. Akan tetapi, dalam konteks negara-negara berkembang privatisasi tidak dapat memenuhi tujuan efisiensi tersebut, apalagi privatisasi sektor publik yang mengusai hajat hidup orang banyak krisis air ternyata hanya alat justifikasi. Sebenarnya dengan komersialisasi air, mereka yang memiliki uang paling banyaklah yang akan mendapat air paling banyak. Masyarakat miskin yang tidak punya uang justru makin sulit mendapat air. Seperti kasus di Manila ini yang masyarakatnya harus menghadapi kenyataan tarif air menjulang tinggi. Sama seperti Jakarta, privatisasi tidak membawa dampak positif bagi Manila, lebih buruk lagi adalah privatisasi air seperti menjebak Filipina pada hutang-hutang baru dari lembaga keuangan internasional.

Masalah-masalah tersebut membuktikan bahwa peran pengelolaan air tidak dapat diberikan pada swasta yang berorientasikan pada keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first). Privatisasi akan membuat akses masyarakat terhadap air terbatas dan mahal. Karena seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Privatisasi di berbagai negara juga menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat.


Artikel ini dapat dicopy-paste atau disebarluaskan. Namun, selalu cantumkan http://darikelas.blogspot.com/ sebagai sumber artikel.
  
Jadilah seorang pembaca yang baik dengan memberi komentar setelah membaca artikel ini. Kontribusi Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan blog ini.

Terima kasih telah berkunjung ke Dari Kelas.

Twitter: @darikelas
Facebook: Dari Kelas

0 komentar:

Posting Komentar